nota kecil: self-
*sebuah catatan di penghujung tahun
"The more awareness I have, the more choice I have in how I create or respond to the circumstances of my life. When we are relatively unconcious, we simply do what we’ve always done, not realizing there is any other way. As we gradually become more aware, we begin to recognize that other options exist and we can make other choices in how we life."
— LIVING IN THE LIGHT, pg. 9-10
#latepost
2021. tahun berulang; untuk berjuang, untuk bertahan.
setidaknya tiga hari lagi tahun berganti menjadi 2022. saya kembali menyerbu diri dengan pertanyaan "sudah dapat apa saja di tahun ini?" "sudah menyelesaikan apa saja di tahun ini?"
setelah evaluasi. kalkulasi. refleksi.
ternyata tak banyak hal yang bisa selesai. ternyata masih banyak yang terbengkalai. ternyata rencana-rencana hanya menjadi wacana.
iya. saya (merasa) kalah, lagi.
lagi-lagi kekalahan ini berulang. saya tidak bisa menang dari diri sendiri.
"bagaimana ini? apa yang harus dilakukan agar semua bisa diselesaikan saat ini setidaknya sebelum tahun benar-benar berganti?"
ah, rasanya, pertanyaan ini pun sudah enggan mengunjungi diri untuk sekedar menyadarkan diri, terlebih memberikan solusi.
self-awareness. self-concious. self-control.
seperti manusia malang lainnya, saya masih belum menguasainya secara penuh. saya masih merasa gagal untuk menjadi utuh bagi diri sendiri. saya masih berkutat dalam kubangan penyesalan dan kekesalan terhadap masa lalu -yang bahkan sebenarnya saya sendiri tahu bahwa itu semua tidak akan mengubah apa-apa, tapi tetap saja saya lakukan.
mengapa? karena saya masih menjadi si pengecut dan penakut seperti tahun lalu.
mengapa? ah, saya sudah enggan menjelaskan alasan yang itu-itu saja.
saya menjadi zombie. hidup, tapi tak bisa merasa hidup sepenuhnya.
barangkali, jika menyadari kesalahan adalah bagian dari 'berkesadaran’, maka saya rasa hanya ini bagian saya yang 'hidup' sepenuhnya, sedang bagian yang membuat saya tak bisa sepenuhnya merasa hidup adalah bagian yang saya sendiri masih sulit untuk kendalikan.
mengapa? karena banyaknya distraksi.
dari mana datangnya distraksi tersebut?
pertanyaan ini dapat terjawab ketika kemampuan refleksi terhadap diri sendiri terbuka, kita sering menganggap distraksi hanya berasal dari luar diri. namun, meskipun ada benarnya, distraksi-distraksi terbesar sebenarnya datang dari diri kita sendiri.
kita sering lupa bahwa banyak hal di luar sana sebenarnya tidak akan bisa menjadi distraksi ketika kita sendiri mampu melakukan kendali diri.
kita sering lupa bahwa sebagian hal yang kita anggap tidak bisa terkendali itu, sebenarnya bisa kita kendalikan. dan, kalaupun memang benar-benar di luar kendali kita, ya mau bagaimana lagi? kita hanya manusia, tak sempurna, dan tak akan bisa sempurna, selamanya.
bagi saya, distraksi terbesar ternyata adalah rasa takut dan malu.
takut. takut atas segala resiko.
malu. malu kalau sampai salah.
padahal ya namanya manusia, adalah hal yang manusiawi jikalau punya rasa takut dan malu.
padahal ya namanya hidup, adalah hal yang wajar jikalau semua pilihan ada resikonya. dan kalau sampai salah pilih pun, seharusnya sih tidak mengapa. manusia tetap bisa belajar dan memperbaiki diri melalui kesalahan, bukan?
kalau salah, ya diperbaiki. kalau jatuh, ya bangun. kalau salah dan jatuh lagi? ya perbaiki dan bangun lagi. begitu terus. ya namanya juga hidup. mau bagaimana lagi.
2022.
berbenah diri, berbenah hati. berbenah lagi.