a walk to remember
2 min readApr 9, 2024

--

nota kecil: tidak mudik lebaran

— dewasa dan berjarak

wedang UwU(h)

“gimana sih rasanya gak lebaran di kampung halaman, mbak?”

pertanyaan itu tercetus oleh seorang teman saat kami mengadakan acara buka bersama. pertanyaan ini sontak menyadarkan saya bahwa saya lupa rasanya lebaran di tengah keramaian kumpul keluarga. pasalnya, saya sendiri lupa kapan terakhir kali berlebaran di kampung halaman. saya sudah terbiasa hidup menyendiri, bahkan saat lebaran pun, saya tak banyak berkunjung ke rumah sanak saudara, selain ke rumah keluarga ibu (dan ‘sekilas' ke rumah keluarga ayah).

“ya.. gitu.. sepi (?)”

jawab saya. 'agak ragu' dengan definisi perasaan diri sendiri. sepi. iya. meski begitu, saya tak banyak mendramatisir keadaan yang sepi ini saking sudah terbiasanya. saya sendiri menikmatinya sejauh ini. tak ada kata tanya kapan dan bagaimana, yang membutuhkan elaborasi “jawaban menjebak".

“jawaban menjebak"? huh?? 😅

iya. pertanyaan 'kapan’ yang harus membuat saya memikirkan masa depan, lalu mengarang harapan-harapan tak pasti demi membahagiakan sanak saudara yang hanya didengar sekilas, lalu terlupa, namun menetap dalam hati pikiran saya sendiri. huft. lelahnya sudah terbayang.

“kapan wisuda?”

“kapan nikah?”

“bagaimana perkembangan kerjaannya?”

kapan begini? kapan begitu? tak habis-habisnya.

iya, ini pertanyaan yang amat sangat wajar. terlebih oleh orang-orang yang sudah lama tak berjumpa dengan kita.

“ya, tinggal dijawab saja apa adanya..”

iyaa. bisa dijawab apa adanya kok. yang penting kuat hati dan mental aja buat jadi bahan perbandingan antara sanak saudara lainnya. semangat kita semua. hehew. ✊🙂

--

--

a walk to remember

Menulis suka-suka, disunting ketika waras dan sempat. Cerna baik-baik. Jangan telan bulat-bulat.